ANALISA HUBUNGAN LUAR NEGRI (GLOBAL
ATAU INTERNASIONAL RELATION DALAM PEMBANGUNAN )
Dosen Pembimbing :
Oleh :
Nama :Hodus
Nim : 12.11.034-AN
SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
“WASKITA DHARMA” MALANG
TAHUN
2014
Globalisasi telah berperan penting dalam memudahkan masyarakat
berinteraksi satu sama lain secara global. Namun di sisi lain juga menjadi
tugas baru bagi masyarakat internasional
untuk menjadikan ikon globalisasi sebagai langkah untuk melakukan pembangunan
yang berkelanjutan bagi keberlangsungan manusia dan alam. Dalam tulisan ini,
penulis akan menguraikan korelasi antara globalisasi ekonomi dengan pembangunan
berkelanjutan itu sendiri berpedoman pada tulisan Moltke (1992) dan Reddy
(2009).
Moltke (1992) dalam tulisannya yang berjudul “International
Trade, Technology Transfer and Climate Change”, menguraikan tentang keterkaitan aspek perdagangan dan
transfer teknologi terhadap kebijakan perubahan iklim dan implikasinya. Secara
objektif kebijakan ekonomi internasional diciptakan dengan tujuan
mensejahterakan masyarakat dan memberikan keuntungan bagi semua negara. Konsep
dalam perdagangan yang menekankan pada efisiensi penggunaan sumber daya
didasarkan pada upaya meminimalisir resiko perubahan iklim. Hal lain yang
dilakukan adalah dengan menginternalisasikan biaya lingkungan ke dalam harga
produksi (1992: 295). Dengan demikian, terdapat proses structural adjustment
dalam rangka mengharmonisasi kebijakan lingkungan, mekanisme institusional,
hambatan non-tarif dan subsidi (1992: 296). Selain itu, transfer teknologi yang
dikaitkan dengan optimalisasi perdagangan juga berpeluang mengubah kebijakan
lingkungan. Transfer teknologi dalam hal ini dipahami sebagai upaya
negara-negara mengakses teknologi baru yang tepat dengan kebutuhan spesifik
tertentu (1992: 295).
Namun demikian, prioritas
perdagangan sering kali tidak sejalan dengan kebijakan lingkungan. Di mana,
untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya adalah dengan memaksimalkan
eksplorasi terhadap produksi dan hal ini tentu bertolak belakang dengan
kebijakan lingkungan yang lebih mengutamakan penghematan penggunaan sumber
daya. Terdapat hal yang beroposisi antara regulasi dalam lingkungan dan
perdagangan, misalnya saja perselisihan cara penangkapan tuna. Selain itu,
pemisahan rezim lingkungan dan perdagangan justru menghambat proses
penyelesaian konflik kebijakan ekonomi yang tidak sesuai dengan konsep
enviromentalis. Kemudian, transfer teknologi yang lebih efisien sebenarnya
berpeluang mempengaruhi kebijakan perubahan iklim, namun permasalahannya adalah
akses memajukan teknologi juga merupakan keuntungan kompetitif (Moltke,
1992: 303)
Lantas bagaimana bisa prioritas perdagangan mendukung tujuan dari
kebijakan perubahan iklim? Untuk menjawab hal ini, Moltke (1992)
menguraikan beberapa poin penting, yaitu: (1) kebijakan perdagangan
dibuat agar negara memperoleh keuntungan dari competitive advantage didasari
dengan ‘no regret’ terkait diimplementasikan atau tidaknya kebijakan perubahan
iklim; (2) pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan pola kuantitatif dan
kualitatif dan kebijakan ekonomi tidak secara otomatis mendukung kebijakan
lingkungan secara objektif; (3) penggunaan dan manajemen subsidi yang
terfokus pada dukungan terhadap transfer teknologi. Dengan demikian, semuanya
harus mengalami penyesuaian yang mengarah pada perubahan struktural tetapi
tidak bersifat radikal (Moltke, 1992: 303).
Selanjutnya, berpedoman pada tulisan Reddy (2009)
yang berjudul “Commercializing Clean Energy Technologies”, kita dapat
mengkorelasikan aktivitas ekonomi dengan lingkungan melalui upaya
komersialisasi dengan memperkenalkan Efisiensi Energi (EE). Komersialisasi
didefinisikan sebagai keterlibatan sektor swasta dan membutuhkan mobilisasi
sejumlah modal swasta (Reddy, 2009: 215). Sementara EE sebagai salah satu upaya
melakukan penghematan energi yang kemudian dikonstruksikan dalam Teknologi
Efisiensi Energi (EETs). Komersialisasi yang dijelaskan oleh Reddy (2009)
berupa proses keseluruhan dari bergeraknya teknologi dari tahap konsep menuju
produksi produk hingga sampai kepada pasar untuk siap dikonsumsi. Dengan kata
lain, melalui tahap: “concept à feasible device à working device Ã
manufacturable device à commercially disseminated device” (2009: 221).
Dalam komersialisasi teknologi, terdapat proses difusi yang mana
teknologi diadaptasi dan diterima oleh konsumen. Di mana teknologi melalui
empat tahap yang berbeda, yaitu tahap belajar, bertumbuh, titik jenuh dan
penurunan (Reddy, 2009: 219). Indikator yang membedakan dimensi komersialisasi
diantaranya: profitabilitas proyek, trend biaya teknologi, pembagian aktivitas
pasar dan privat, perkembangan pelayanan bisnis, ketersediaan pembiayaan
komersial, pemahaman atas keuntungan dan permintaan konsumen (2009: 222).
Fungsi dari adanya komersialisasi ini adalah meningkatkan teknologi yang
semakin berprofit dan dengan demikian dapat mengurangi kebutuhan subsidi (2009:
222). Untuk memudahkan komersialisasi, dibutuhkan penyesuaian pengambil
keputusan, seperti pemerintah, sektor privat, institusi finansial, komunitas
tertentu dan NGO (2009: 227). Reddy (2009) mengambil contoh internet sebagai
komersialisasi yang berhasil. Di mana seiring dengan perkembangan teknologi,
internet telah menjadi bagian dalam investasi bisnis yang dulunya merupakan
proyek publik. Namun demikian, teknologi lingkungan masih mengalami kesulitan
untuk terkomersialkan dengan alasan kurang atraktif (2009: 237).
Opini
Berdasarkan tulisan dari Moltke dan Reddy,
pertama-tama penulis sependapat dengan penjelasan yang diuraikan oleh Moltke
yang mengkorelasikan aspek perdagangan dan transfer teknologi dengan kebijakan
perubahan iklim. Prinsip ekonomi dan lingkungan terlihat memang bertolak
belakang, dan untuk mendapatkan hal yang lebih dari satu sisi maka harus
mengorbankan sebagian dari salah satunya pula. Sementara itu, aktor dalam
perdagangan lebih mengutamakan pencapaian profit yang sebesar-besarnya daripada
memikirkan keberlanjutan lingkungan. Dengan demikian, secara perlahan keduanya
harus disesuaikan satu sama lain, sehingga nantinya tercapai perubahan yang
tidak bersifat radikal.
Kemudian, berkaitan dengan tulisan Reddy mengenai komersialisasi,
bagi penulis, konsep tersebut mungkin merupakan salah satu diantaranya
banyaknya solusi yang digunakan untuk mencapai efisiensi. Namun demikian,
komersialisasi teknologi yang berbasis lingkungan tidak semudah seperti
komersialisasi pada internet. Komersialisasi tetap berpedoman pada profit yang
akan dicapai, ketika suatu teknologi terkomersialkan, dengan demikian
ekspektasi terhadap teknologi yang berbasis lingkungan
tidak lantas menjadi konsep yang solutif. Oleh karena itu, seharusnya tidak
harus hanya berpedoman pada komersialisasi teknologi, tetap komersialisasi
konsep perilaku dan tindakan yang selalu memikirkan efisiensi energi.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa globalisasi
ekonomi dan pembangunan berkelanjutan, sering kali menjadi dua dimensi yang
sangat bertolak belakang. Pembangunan berkelanjutan berkaitan dengan
pemeliharaan sumber daya, sehingga nantinya tidak akan mengalami kelangkaan
ataupun krisis lingkungan yang kemudian dapat mengancam kehidupan manusia
secara global. Sering kali pula aktivitas ekonomi hanya terperangkap pada pengejaran
profit dengan memaksimalkan eksplorasi sumber daya alam yang justru berpeluang
merusak lingkungan. Keduanya memang bertolak belakang, tetapi masih dimungkin
untuk melakukan penyesuaian yang membawa kepada perubahan yang tidak bersifat
radikal.
Referensi
Moltke, Konrad Von. 1992. “International
Trade, Technology Transfer and Climate Change”, dalam Mintzer, Irving, ed.
Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, Sao Paulo:
Cambridge University Press, hal 295-304
Reddy, B Sudhakara et all. 2009.
“Commercializing Clean Energy Technologies”, dalam Energy Efficiency and
Climate Change. New Delhi: Sage Publication, hal. 214-238
TEORI KLASIK PEMBANGUNANEra 1700-an – 1800-an
Adam Smith: Kapitalisme dan Pertumbuhan
Melalui bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of
the Wealth of Nations (1776)Adam Smith merespon kebijakan
perdagangan di Eropa Barat. Pada saat itu, “perdagangan” sebagai pendorong
utama pertumbuhan ekonomi. Kekuasaan berada di tangan para perusahaan dagang
raksasa (misalnya the East India Company). Untuk menjaga kepentingan
mereka, kemudian diberlakukan gerakan proteksionisme sehingga praktis
kompetisi menjadi sangat terbatas. Proteksionisme ini berupa penetapan
tarif yang tinggi untuk barang impor. Ini kemudian membuat harga barang
produksi dalam negeri menjadi lebih murah.
Menurut Adam Smith, upaya-upaya seperti ini jelas
menghambat pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan. Mestinya perhatian
ditujukan pada “produksi”. Logikanya sederhana: ada produksi maka ada
pembagian tenaga kerja (division of labor); ada pembagian kerja, ada
perbaikan produktivitas; dengan adanya perbaikan produktivitas, ada perbaikan
pertumbuhan ekonomi.
Kemudian pelaksanaan sistem akan diatur oleh “the invisible hand
of market”.Smith percaya individu akan bertindak mengikuti
kepentingan pribadi (self-interest); apabila suatu produk dirasa terlalu
mahal maka tidak akan ada yang membelinya dan penjual akan mengurangi harga,
atau menjual sesuatu yang lain. Juga, jika gaji terlalu rendah, pegawai akan
mencari pekerjaan yang lain. Pandangan Smith ini masih mempengaruh proses
pembangunan ekonomi hingga dewasa ini. Pendekatan pasar (market-based
approach) dalam pembangunan ekonomi juga diistilahkan dengan laissez-faire
economics.
David Ricardo:Teori Diminishing Return dan Comparative
Advantage
David Ricardo merupakan salah satu pendukung
perdagangan bebas (free trade) dan mengembangkan teori keuntungan komparatif (comparative
advantage). Menurut teori ini, setiap negara seharusnya berfokus pada
persoalan produksi dan kemudian menjual barang tersebut sehingga mereka punya
keuntungan dalam produksi. Spesialisasi diperlukan sehingga produksi menjadi
lebih efisien. Dengan demikian ada kemampuan untuk proses pertumbuhan dan risorsis
dapat digunakan secara lebih efektif.
David Ricardo, melalui Principles of Political Economy and Taxation
(1817), nampaknya pesimistis tentang kemungkinan terjaganya pertumbuhan
ekonomi. Bagi Ricardo, pertumbuhan dibatasi oleh kelangkaan lahan (land scarcity).
Teori Malthus:Populasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Malthus, populasi akan tumbuh manakala pendapatan naik di
atas level subsisten. Mengapa? Karena adanya “animal nature” manusia, khususnya
“pekerja miskin”. Keterkaitan antara pendapatan dan pertumbuhan dijelaskan
dengan logika berikut: jika rata-rata pendapatan per orang naik karena semakin
baiknya iklim dan tingginya output yang dihasilkan maka akan ada lebih banyak
pangan dan kebutuhan lain. Jika pendapatan dan suplai pangan melebihi apa yang
disyaratkan untuk kegiatan subsistem maka tambahan anak akan tetap ada.
Dalam formulasi Malthus, pertambahan penduduk mengikuti “geometric
progression,” yakni jumlah penduduk tumbuh menurut angka 2, 4, 8, 16, 32, 64,
128, 256, 512, 1,024, 2,048, dan seterusnya. Bagi Malthus, prinsip ini terjadi
pada setiap generasi, ketika upah meningkat di atas level subsistem merupakan
faktor utama untuk memahami mengapa kelas yang lebih miskin tetap miskin.
Keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan kemiskinan dijelaskan
dengan logika berikut: batas tertinggi ekspansi penduduk adalah ketika lahan
sudah tidak mampu lagi untuk menghasilkan cukup pangan. Produksi kebutuhan
pangan tentunya tidak dapat dijaga sesuai dengan ledakan penduduk. Ketika lahan
semakin sering ditanam maka angka fertilitas cenderung menjadi rendah.
Produktivitas output per unit dari lahan akan berkurang, sehingga pertumbuhan
output total pangan akan lambat.
Malthus percaya bahwa output pertanian hanya dapat meningkat dalam
“arithmetic progression,” yakni menurut angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
dan seterusnya. Cepat atau lambat populasi yang kian meningkat akan dihadapkan
dengan lebih lambatnya pertumbuhan produksi pangan dasar. Tidak hanya
pendapatan per orang yang tidak meningkat, bahkan lebih dari itu akan jatuh di
bawah kebutuhan subsistens. Kalau pendapatan berada di bawah level subsisten
maka berpotensi menyebabkan kelaparan, bahkan penurunan populasi. Titik
keseimbangan (equilibrium) akan terjaga manakala pertumbuhan populasi berjalan konsisten
dengan peningkatan produksi pangan.
Malthus tidak menyadari bahwa ada faktor yang memperlambat angka
pertumbuhan populasi. Karena angka pertumbuhan populasi tergantung pada
perbedaan antara angka kelahiran dan kematian, maka setiap faktor yang mengurangi
angka kelahiran dan/atau meningkatkan angka kematian akan cenderung
memperlambat angka pertumbuhan penduduk.
Karl Marx:Pembangunan Kapitalisme
Negara berperan penting dalam semua pendekatan pembangunan. Peran
tersebut misalnya menyiapkan sistem regulasi, hukum dan aturan agar pasar dapat
bekerja secara lebih efisien, ataupun pemerintah bisa lebih intervensionis
dalam kehidupan ekonomi seperti yang ditekankan oleh Marx.
Menurut Marx, suatu pendekatan pembangunan yang bersifat
”ahistoris” sebaiknya diganti dengan pendekatan ”dialektika historikal”.
Menurutnya, analisis ekonomi klasik memandang proses pembangunan ibaratnya
sebuah fotografi: hanya menggambarkan realitas pada waktu tertentu. Sebaliknya,
pendekatan dialektikal memandang proses pembangunan sebagai suatu gambar
bergerak (moving picture): mengamati fenomena sosial dengan cara mengkaji
”tempat” dan ”proses” perubahannya. Sejarah bergerak dari satu tahap ke tahap
yang lain (dari feodalisme ke kapitalisme ke sosialisme), berdasarkan perubahan
cara mengatur kelas-kelas sosial dan relasi antar kelas tersebut. Konflik
antara kekuatan-kekuatan produksi (pengetahuan dan teknologi, organisasi
produksi, dan pengembangan keahlian manusia) dan relasi produksi yang ada
(ketepatan dan distribusi output serta cara berpikir masyarakat, dan ideologi)
memberikan pergerakan yang dinamis dalam interpretasi materialis. Interaksi
antara kekuatan dan relasi produksi membentuk politik, hukum, moralitas, agama,
budaya, dan gagasan-gagasan.
Berbeda dengan pakar yang lain (Smith, Malthus, dan Ricardo),
menurut Karl Marx kapitalisme tidak selamanya ada dalam sebuah masyarakat.
Kapitalisme hanya menjadi satu tahap perkembangan historis masyarakat, meskipun
perkembangan historis ini tidak dialami oleh semua negara pada saat yang sama.
Marx percaya kapitalisme pada akhirnya akan menciptakan suatu sistem ekonomi
sosialis, dan karenanya, komunis. Karya Marx yang monumental adalah Capital
yang hanya satu volume. Ia meninggal pada tahun 1883, dan dua volume Capital
diedit dan dipublikasikan di tahun 1885 dan 1894 oleh teman dekatnya yakni
Frederick Engels.
Marx mengagumi kekuatan yang dimiliki oleh kapitalisme, suatu
sistem yang telah berhasil menciptakan kesejahteraan dalam ratusan tahun. Namun
yang ”mengganggu” Marx adalah faktor human cost dalam menghasilkan kesejahteraan
dan distribusi satu-sisi. Marx percaya bahwa sebenarnya hanya kelas pekerja –
proletariat – yang menghasilkan kesejahteraan melalui kekuatan buruhnya.
Sedangkan kaum kapitalis memberikan kontribusinya semata-mata dari posisinya
sebagai pemilik sarana produksi.
Marx berpendapat bahwa ketidakmerataan distribusi kepemilikan
sarana produksi adalah hasil dari suatu proses historis dimana petani
kehilangan akses lahan dan dipaksa untuk masuk ke kota dan menjadi pekerja.
Karenanya ia berpendapat bahwa distribusi pendapatan dalam masyarakat kapitalis
tidak adil. Meski demikian, transisi menuju sosialisme dapat dicapai bila
kapitalisme telah mencapai tahap perkembangan yang cukup tinggi. Bagi Marx,
tingkat pendapatan per kapita yang tinggi dalam lingkungan ekonomi kapitalis
adalah suatu prakondisi bagi masa depan sosialis, dan sistem ekonomi komunis
akan mengikutinya.
Teori pembangunan ala Marx ini mirip dengan model tahap linear
(linear stages models). Kapitalisme dipandang sebagai satu tahap dalam transisi.
Secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tahap
Karakteristik
Kuno/primitif, feodalisme atau Asiatic
Masyarakat kuno, kepemilikan lahan secara komunal. Feodalisme
ditemukan dalam masyarakat “Barat”; berdasarkan pada produksi pertanian yang
dikelola dalam lahan yang luas; kepemilikan lahan oleh beberapa orang.
Asiatic ditemukan pada masyarakat “Timur”, misalnya India, Cina,
Turki, Persia; kelas-kelas yang berbeda mendominasi ekonomi dan aparatus
pemerintah; dibutuhkan untuk menjamin kontrol terpusat akan teknologi penting
seperti sistem irigasi dan sebagainya.
Kapitalisme
Masyarakat terbagi ke dalam kelompok masyarakat yang memiliki
sarana produksi (means of production[1]) dan tidak; pasar memegang peran
penting dalam alokasi risorsis.
Sosialisme
Kepemilikan sarana-sarana produksi oleh negara atau orang;
industrialisasi berarti bahwa orang tidak perlu harus berjuang untuk suatu
kehidupan dan kebutuhan individu dapat dipenuhi melalui sistim distribusi yang
kolektif.
Sumber: diadaptasi dari Gregory (1986); Smith (2000); Worsley
(1990); Willis (2005).
TEORI-TEORI MODERNISASI
Era 1920-an – 1930-an: John
Maynard Keynes
Para penganut ekonomi klasik percaya bahwa pasar merupakan suatu
mekanisme untuk memaksimalkan efisiensi risorsis. Namun pada tahun 1929 dan
1930 terjadi Kejatuhan Wall Street (Wall Street Crash) dan adanya Depresi Hebat
(Great Depression) di Amerika. Ketika terjadi kegagalan mekanisme pasar bebas
untuk mencapai titik equilibrium, para ekonom mulai membangun pemahaman baru
tentang ekonomi negara. Yang paling mencengangkan adalah pemikiran ekonom
Inggris yakni John Maynard Keynes yang pada tahun 1936 mempublikasikan
The General Theory of Employment, Interest, and Money.
Keynes berpendapat bahwa pasar bebas tidak selamanya menjadi
kekuatan positif seperti yang diyakini banyak orang. Menurutnya, kunci utama
untuk pertumbuhan adalah “investasi nyata” (real invenstment), misalnya dalam
proyek infrastruktur baru. Investasi ini, menurutnya, akan memberikan efek
positif bagi penciptaan lapangan kerja dan selanjutnya menghasilkan
kesejahteraan melalui multiplier effect. Misalnya, apabila pemerintah mendanai
pembangunan jalan, hal ini menciptakan pekerjaan tidak hanya untuk pembangun
jalan, tetapi juga untuk suplier material jalan dan alat-alat lain. Para
pekerja akan mengeluarkan uang untuk pekerjaan orang lain, dan perusahaan akan
menghasilkan profit yang akan diinvestasikan lebih lanjut.
Keynes melihat adanya ”peran pemerintah” dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung ”investasi”, pemerintah dapat menetapkan
kebijakan-kebijakan moneter seperti mengubah interest rates, atau secara
langsung melalui government expenditure. Pengeluaran pemerintah (government
expenditure), karenanya, merupakan suatu jalan untuk “menangkal krisis”.
Era 1960-an
W.W. Rostow: Teori Pertumbuhan Linear (Linear-Stages Theory):
Pada tahun 1960, Walt Rostow mempublikasikan The Stages of Economic
Growth: A Non-Communist Manifesto. Rostow menulis tentang “pertumbuhan ekonomi”
bukan “pembangunan”. Melalui pemikirannya, ada jalan menuju kepada
“pembangunan” dengan tahap terakhir yang dikenal dengan era konsumsi masa yang
tinggi. Karenanya, dalam istilahnya, “pembangunan” dipahami sebagai suatu
kondisi negara dimana penduduk dapat mengeluarkan banyak uang untuk membeli
produk-produk. Pembangunan kemudian lebih mengambil tempat pada konteks
kapitalis, ketimbang komunis. Sebagai suatu proses, “pembangunan” dipahami
dalam kaitannya dengan modernitas, dan sebuah pergerakan dari masyarakat
agrikultural dengan serangkaian praktek budaya tradisional untuk menuju kepada
suatu negara industri yang lebih rasional dan berfokus pada ekonomi.
Ia menganalogikan proses ini seperti pergerakan pesawat sepanjang
landasan pacu hingga mencapai titik take-off dan kemudian terbang.
TahapKarakteristikTradisional
Berbasis pertanian; menggunakan ilmu dan teknologi sebelum
Newtonian; pre-nation-state
Prakondisi untuk Lepas Landas
Rerata tabungan dan investasi diatas rerata pertumbuhan populasi;
organisasi dan institusi level nasional; elit baru; perubahan seringkali dipicu
oleh intrusi eksternal
Lepas Landas
Rangsangan untuk lepas landas dibutuhkan, misalnya melalui revolusi
politik, inovasi teknik, mengubah lingkungan ekonomi internasional; angka
investasi dan tabungan 5-10% dari pendapatan nasional; sektor manufaktur;
pengaturan institusi yang tepat, misalnya sistem perbankan
Menuju kepada Kematangan
Perluasan teknologi; pembangunan sektor baru; invenstasi dan
tabungan 10-20% dari pendapatan nasional
Era Konsumsi Tinggi
Konsumsi tinggi akan barang dan jasa; meningkatnya pengeluaran
untuk pelayanan kesejahteraan.
Sumber: Rostow, 1960; dalam Willis (2005).
Paul Rosenstein-Rodan: Teori The Big Push
Menurut Rosenstein-Rodan, kalau negara berkembang mau memutus
rantai kemiskinan maka perlu ada “investasi berskala besar” di sektor industri
(big push). Investasi dalam skala besar ini akan menciptakan interaksi yang sinergis
diantara berbagai sektor.
Namun hal ini sulit sekali dilakukan dalam suatu frame pasar alami.
Para wirausahawan akan berpikir matang untuk menerapkan konsep big push ini
berdasarkan kalkulasi untung-ruginya. Karenanya, sektor-sektor produksi yang potensial
tidak dapat “digarap” oleh pasar (privat) karena keraguan pasar untuk membuat
keputusan investasi. Apalagi untuk menjalankan konsep big push ini, diperlukan
dukungan infrastruktur sosial seperti: jalan, jembatan, pelabuhan, sistem
komunikasi, rumah sakit, sekolah, irigasi, dan sebagainya.
Rosenstein-Rodan mengklaim bahwa ia telah membuat beberapa inovasi.
Pertama, terkait dengan pengangguran terselubung (disguised unemployment)
khususnya dalam sektor pertanian akan mengalami peningkatan output total
mengingat dukungan infrastruktur sosial menjadi penting dalam pembangunan.
Kedua, investasi berskala besar berpotensi memberikan dampak bagi pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan di luar dari yang diprediksi. Ketiga, investasi
berskala besar dapat menghasilkan tenaga-tenaga terlatih dan profesional.
Teori Lingkaran Setan (Vicious Circle Theory)
Esensi dari teori ini adalah kemiskinan mengekalkan dirinya dalam
pengukuhan lingkaran setan pada dua sisi yakni supply dan demand. Pada sisi
supply, karena pendapatan rendah, konsumsi tidak dapat diubah menjadi tabungan
sehingga tidak ada pembentukan kapital. Minimnya modal (capital) menyebabkan
produktivitas rendah, sehingga tingkat pendapatannya rendah. Sebuah negara
menjadi miskin karena sebelumnya terlalu miskin untuk menabung dan
menginvestasi. Atau seperti yang dikatakan oleh Jeffrey Sachs (2005:56)
mengenai jebakan kemiskinan (the poverty trap): “kemiskinan itu sendiri yang
menjadi sebab terjadinya stagnasi ekonomi. Jepang memiliki angka tabungan
tinggi sepanjang periode pertumbuhan ekonomi sepanjang dekade 1950an, 1960an,
dan 1970n, serta Macan Asia (Malaysia, Thailand) memiliki angka tabungan yang
tinggi menyiratkan sisi lain dari koin lingkaran setan. Ketika negara-negara
kian kaya, mereka menabung lebih, menciptakan suatu virtuous circle dimana
angka tabungan yang tinggi akan membawa pertumbuhan yang lebih cepat (Edwards
1995; Economist 1995b:72; World Bank 2003i:218–220).
Pada sisi demand, karena pendapatan rendah, ukuran pasar (misalnya
untuk barang konsumsi seperti sepatu, tekstil, dsb.) menjadi terlalu kecil
untuk melibatkan investor potensial. Minimnya investasi menyebabkan
produktivitas dan pendapatan rendah. Sebuah negara miskin karena sebelumnya
terlalu miskin untuk menyediakan pasar untuk mendorong investasi.
Pertumbuhan Berimbang Vs Tak Berimbang (Balanced Versus Unbalanced
Growth)
Balanced Growth
Debat pembangunan pada 1940-an hingga 1960-an berkenaan dengan
konsep balanced growth versus unbalanced growth. Oleh para penganjurnya, esensi
dari konsep balanced growth adalah modal (capital) atau investasi harus
ditanamkan dalam “berbagai sektor” yang saling mendukung satu sama lain. Ragnar
Nurkse (1953) memandang strategi ini sebagai satu-satunya jalan untuk
melepaskan diri dari lingkaran setan kemiskinan. Tesis ini mendukung tesis big
push theory (Paul Rosenstein-Rodan), bahwa suatu strategi “gradualisme” akan
mengalami kegagalan. Perlu ada upaya untuk mengatasi inersia yang inheren dalam
ekonomi yang stagnan. Situasinya dianalogikan dengan sebuah mobil yang macet di
tengah salju: mobil itu tidak akan bergerak dengan sedikit dorongan
perlahan-lahan; ia memerlukan suatu dorongan yang kuat (a big push).
Unbalanced Growth
Menurut teori unbalanced growth (Albert O. Hirschman, 1958),
investasi hanya ditanam dalam sektor strategis tertentu yang merupakan leading
sector, dan ini akan menciptakan peluang investasi lebih lanjut. Ini merupakan
jalan terbaik untuk pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, tesis the big push terlalu
gloomy bagi LDCs: mereka tidak memiliki keahlian untuk melakukan suatu upaya
yang masif.
Kekurangan utama dalam negara terbelakang (LDC) tidak terletak pada
suplai tabungan, tetapi keputusan untuk berinvestasi oleh para entrepreneurs
dan pembuat keputusan. Kemampuan untuk berinvestasi tergantung pada jumlah dan
keberadaan investasi. Hirschman percaya bahwa negara-negara miskin memerlukan
suatu strategi pembangunan yang mendorong keputusan investasi.
Ia menyatakan bahwa karena risorsis dan kemampuan terbatas, tesis
big push lebih masuk akal jika diterapkan secara strategik dalam industri
tertentu. Pertumbuhan kemudian akan menyebar dari satu sektor ke sektor
lainnya.
Model Perubahan Struktural
Oleh Todaro (2000), terjadinya pergeseran secara gradual
diistilahkan sebagai “model perubahan struktural”. Dasar dari model pembangunan
ini adalah terjadinya pergeseran ekonomi nasional dari pembangunan desa (rural)
yang notabene menekankan pertanian menuju kepada pembangunan kota yang
menekankan penguatan industri.
W. Arthur Lewis adalah salah seorang teorist kunci dari
model pembangunan ini. Melalui pengalamannya di Karibia, ia kemudian mengkaji
hakekat pembangunan ekonomi. Menurutnya, ada dualisme ekonomi yang dimiliki
oleh negara-negara “terbelakang” (underdeveloped). Pertama, sektor
“tradisional”, umumnya merupakan pertanian subsisten. Kedua, sektor “modern”
yang bercorak pertanian komersial, plantasi, dan manufaktur. Bagi Lewis, konsep
“pembangunan” mengambil tempatnya ketika surplus tenaga kerja bergerak dari
sektor tradisional ke modern yang kapitalis. Karena ada begitu banyak “surplus”
tenaga kerja di wilayah desa (rural), upah di sektor modern tidak akan
meningkat sampai surplus tenaga kerja telah terserap (Lewis, 1964).
Lewis menekankan bahwa seharusnya negara-negara sudah harus mulai
membangun sektor “modern”, khususnya bagaimana negara harus menambah uang untuk
kegiatan investasi manakala tabungan masyarakat terbatas sebagai akibat dari
tingginya tingkat kemiskinan. Sebagai suatu jalan keluar dari jebakan ini, ia
mendukung perlunya investasi luar negeri. Pemerintah perlu melibatkan
perusahaan-perusahaan luar negeri agar mau menginvestasikan modalnya dalam
pembangunan domestik melalui suatu proses yang disebut “industrialization by
invitation” (Lewis, 1955).
Dimensi Spasial
Seperti diketahui bersama, pembangunan tidak hanya memiliki dimensi
sosial saja tetapi juga spasial. Persis seperti kebijakan pembangunan menurut
model Keynesian yang menuju kepada terciptanya “efek tetesan ke bawah” (trickle
down effect), begitu juga manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh setiap
wilayah (region) yang berbeda. Bagi Albert Hirschman (1958), pertumbuhan secara
spasial adalah bagian dari suatu proses pembangunan.
Berdasarkan pada pengalamannya di Amerika Latin, ia berpendapat
bahwa lebih masuk akal apabila pembangunan ekonomi, khususnya industrialisasi,
dapat terkonsentrasi secara spasial ketimbang harus mencapai angka pertumbuhan
yang merata di seluruh bagian negara. Argumennya adalah bahwa apa yang disebut
sebagai “growth poles” akan menjadi foci bagi pembangunan ekonomi, namun
sepanjang waktu, manfaat dari proses pembangunan akan menyebar dan derajat
polarisasi akan berkurang. Ia mengakui bahwa kondisi yang ada di negara-negara
miskin mungkin memerlukan bentuk pendekatan pembangunan yang berbeda. Dibalik
ide “unbalanced growth” dan “growth poles” akan lebih mudah mengetahui konsepsi
pertumbuhan sebagai suatu proses yang lebih alami atau tidak.
Gunnar Myrdal (1957), seorang ekonom Swedia, juga menyoroti
ketimpangan spasial (spatial inequalities) melekat dalam model pembangunan
ekonomi yang menekankan pasar bebas. Hal ini dapat dilacak dalam karyanya yang
berjudul Economic Theory and Underdeveloped Regions. Namun tidak seperti
Hirschman, Myrdal tidak percaya bahwa polarisasi spasial secara otomatis akan
reversed ketika pembanguna ekonomi mencapai suatu level tertentu. Menurutnya,
manakala suatu wilayah mulai tumbuh secara ekonomi maka akan ada penarikan
sumber daya manusia, risorsis, dan dana ke daerah tersebut sehingga memberikan
kontribusi bagi pertumbuhan selanjutnya. Dengan demikian terjadi penipisan
kontribusi orang dan risorsis pada pembangunan di wilayah atau daerah lainnya.
Hal ini yang kemudian disebut sebagai “backwash effects”.
Bagi Myrdal, satu-satunya cara untuk mengurangi efek dari spatial
inequalities adalah melalui intervensi pemerintah. Menurutnya, apabila
perencanaan pemerintah lebih efisien maka tidak perlu ada variasi wilayah dalam
angka pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi, ia menyadari sepenuhnya bahwa dalam
banyak situasi pemerintah dalam banyak negara tidak mampu mencapai hal tersebut
(Myrdal 1970). Menurutnya perlu adanya strong states untuk menjamin agar
mekanisme perencanaan dapat diimplementasikan. Keyakinan Myrdal mengenai
perencanaan sebagai suatu solusi bagi “masalah-masalah pembangunan” sangat
tepat dengan apa yang disebut sebagai sebuah pendekatan teknokratik
Eurocentric.
Era 1970-an: Neo-Liberalisme
Bagi kebanyakan pemerintah di bagian Utara, pembangunan dalam
periode sesudah Perang Dunia II dapat dicapai melalui berbagai variasi dalam
pendekatan Keynesian. Pendekatan ini berdasarkan pada intervensi pemerintah
pada level nasional dan bantuan luar negeri pada skala internasional.
Perspektif ini berubah sepanjang era 1970-an ketika peran negara mulai
dipertanyakan.
Pada era 1970-an, beberapa teorist mulai berpendapat bahwa
keterlibatan negara yang begitu luas dalam aktivitas ekonomi telah menciptakan
inefisiensi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Teorist ini, diantaranya
Deepak Lal (1983) dan Bela Balassa (1971, 1981) berdasarkan pada teori the
invisible hand. Bagi para teorist neo-klasik dan neo-liberal, agar ada
kesejahteraan bagi semua orang maka pemerintah perlu mengurangi intervensinya
dan biarkan pasar menetapkan harga. Hal ini akan menciptakan alokasi risorsis
yang paling efisien. Bantuan luar negeri juga menyebabkan terjadinya
inefisiensi dan karenanya bentuk intervensi seperti itu perlu dikurangi.
Toye (1993) menggambarkan pergeseran teori pembangunan ini sebagai
suatu “counter-revolution”. Ia menyimpulkan ada 3 pendekatan kebijakan yang
harus dihadapi:
Meluasnya cakupan sektor publik.
Penekanan lebih pada kebijakan investasi dalam modal fisik seperti
infrastruktur, ketimbang modal sosial seperti pendidikan dan kesehatan;
Meluasnya penggunaan kontrol ekonomi seperti tarif, subsidi dan
kuota yang mendistorsi harga. (Toye, 1993).
Ketiga hal tersebut berkaitan dengan aspek internal sebuah negara.
Tidak ada faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan ekonomi. Misalnya,
Balassa lebih menekankan pada liberalisasi perdagangan. Dengan menggunakan
kasus 4 negara di Amerika Latin dan 4 negara di Asia, Balassa (1971) mengkaji
peran negara dalam mendukung pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi di
balik berbagai hambatan tarif.
TEORI NEO-MARXISM, STRUKTURALIS, KETERGANTUNGAN/DEPENDENSI, DAN
Teori Neo-Marxism
Teori klasik Marxis di atas dikritik karena lebih berfokus pada
pengalaman masyarakat Eropa Barat dan berasumsi bahwa semua negara akan
mengikuti pola kemajuan dan pembangunan yang sama. Pada tahun 1950-an dan
1960-an pendekatan neo-Marxist mulai mempertanyakan interpretasi tersebut.
Pengalaman negara-negara yang baru merdeka di Karibia, Afrika dan Asia
menunjukkan bahwa ide Lenin tentang imperialisme menjadi tahap tertinggi dalam
kapitalisme dapat dipertentangkan.
Paul Baran (1960) berdasarkan ide Marxist, kemudian memberi label
neo-Marxism. Ia, bersama dengan Paul Sweezy, berpendapat bahwa kapitalisme
sedang berada dalam suatu periode “monopoly capitalism” (Baran & Sweezy,
1968). Perusahaan besar mendominsai ekonomi dunia dan mampu mengekploitasi
bagian dunia yang lebih miskin. Menurutnya, pemerintah di negara miskin dan
berkembang harus melakukan intervensi dan mencegah inefisiensi dana untuk
pembangunan di luar negara. Sayangnya, pemerintah di negara-negara miskin
cenderung korup, kekuasaannya terbatas untuk mencegah eksploitasi ini.
Bagi Baran satu-satunya solusi terhadap masalah ini adalah
meninggalkan sistem kapitalis dunia untuk mendukung sistem sosialis-negara
(state-socialist system). Hanya dengan melakukan hal tersebut maka pembangunan
menjadi mungkin terjadi. Ide ini serupa dengan ide yang diadopsi oleh para
pakar aliran dependensi.
Teori Strukturalis
Teori-teori pembangunan sebagian besar berangkat dari pengalaman
Eropa. Namun, pendekatan Eurosentris ini mengalami tantangan dari perspektif
lainnya. Diantaranya para akademisi dan penulis dari Amerika Latin.
Pendekatan strukturalis menjelaskan hakekat ekonomi negara-negara
Amerika Latin dan derajat pembangunannya. Raul Prebisch bersama penulis yang
lain memberikan argumen tentang teori dan strategi pembangunan berdasarkan
pengalaman di Amerika Latin. Menurut Prebisch, rendahnya tingkat pertumbuhan
ekonomi dan standar hidup tidak akan diperbaiki melalui perdagangan bebas (free
trade) seperti yang dikumandangkan oleh para teorist modernisasi. Hal ini
karena struktur ekonomi global sangat berbeda dengan situasi ketika
negara-negara Eropa mengalami proses industrialisasi. Menurut Prebisch, sistem
perdagangan global yang lebih berdasarkan pada prinsip perdagangan bebas
merupakan suatu hambatan bagi pembangunan di Amerika Latin.
Menurut para pakar strukturalis, pembangunan sebagai suatu tujuan
(goal) tidak dihadirkan dengan industrialisasi, urbanisasi, dan simbol-simbol
modernisasi lainnya. Pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang
“jalan”nya akan berbeda dengan pendekatan Eurosentris. Bagaimana mungkin “jalan” yang ditempuh bisa
sama apabila lingkungan global saja sudah berbeda? Intinya, ada pengakuan akan
pentingnya konteks historis dalam pembangunan.
Menurut interpretasi kaum strukturalis, strategi pembangunan
nasional harus mencakup interevensi negara yang lebih besar untuk melindungi
industri-industri nasional untuk membangun dirinya. Pendekatan ini dibangun
berdasarkan ide “infant industry” yang dikembangkan oleh Friedrich List,
seorang ekonom Jerman.
Teori Dependensi/Ketergantungan
Salah satu kelompok teori yang tergolong ke dalam Teori Struktural
yakni Teori Ketergantungan (Dependensi) (Budiman, Arif, 2000). Beberapa tokoh
kunci Teori Ketergantungan adalah: Raul Prebisch, Paul Baran, Andre Gunder
Frank, dan Theotonio Dos Santos.
Argumen kunci dari para teorist dependensi adalah bahwa
negara-negara Amerika Latin berada dalam kondisi “terbelakang”
(underdevelopment) karena bekerjanya sistem kapitalis. Khususnya, negara-negara
industri mengalami pertumbuhan dan pembangunan ekonomi melalui proses
eksploitasi terhadap negara-negara pinggiran (periphery) yang non-industri. Menurut
para teorist dependensi, situasi pembangunan di Amerika Latin merupakan hasil
dari pembangunan kapitalis, sama seperti industrialisasi di Utara merupakan
hasil dari proses ini. Andre Gunder Frank (1967) mengatakan hal ini sebagai
“development of underdevelopment”.
Frank mengambil contoh Chile dan Brazil untuk menunjukkan rantai
ketergantungan yang telah ada sejak periode kolonial bermula di abad ke-16. Ia
berpendapat bahwa dengan pembangunan yang bercorak kapitalis (ia memaknai
kapitalisme sebagai proses produksi untuk pertukaran pasar), Amerika Latin
terjebak dalam suatu sistem ketergantungan global hingga pada tataran antar
personal. Petani dieksploitasi oleh pemilik lahan. Para pemilik lahan ini
kemudian menjual barang-barang mereka kepada para pedagang (merchants) di kota
dengan harga yang lebih tinggi. Rantai pertukaran dan eksploitasi ini
berlanjut, hingga surplus yang dihasilkan dibawa sampai ke negara-negara pusat.
Meskipun para teorist dependensi sepakat bahwa faktor-faktor
eksogen (di luar negara) menjadi kunci untuk menjelaskan rendahnya tingkat
pembangunan ekonomi di Amerika Latin, namun solusi terhadap situasi ini
berbeda-beda. Clarke (2002) menyoroti perbedaan utama diantara kaum “reformist”
dan “Marxist”. Bagi kaum reformis, seperti halnya kaum strukturalis, yang
diperlukan adalah reformasi sistem perdagangan kapitalis, mungkin dengan
perlunya intervensi negara yang lebih kuat (lihat Furtado, 1976). Sedangkan
kaum Marxist (atau lebih tepatnya neo-Marxist) memandang kejatuhan sistem
kapitalis sebagai satu-satunya solusi. Sebagai salah satu pendukung dari
pendekatan ini, Frank berpendapat bahwa di dalam kapitalisme, wilayah-wilayah
periferi dunia akan selalu dieksploitasi dan dimarginalkan.
Meskipun teori dependensi utamanya berkenaan dengan kondisi di
Amerika Latin, namun teori ini juga dapat diterapkan di bagian lain dunia.
Misalnya, Walter Rodney dalam bukunya How Europe Underdeveloped Africa (1981)
berpendapat bahwa intervensi Eropa dalam proses politik, sosial, dan ekonomi
Afrika sepanjang abad ke-19 telah menciptakan ketergantungan dan menghasilkan
kemiskinan bagi masyarkat Afrika. Amin (1974) memberikan argumen serupa dalam
kasus Afrika, berfokus pada proses ekonomi, khususnya ekstraksi produk-produk
utama.
Hubungan antara Negara Pusat (Core) – Pinggiran (Periphery) dalam
Model Dependensi
Meskipun
pendekatan dependensi sangat populer di era 1970-an, namun pengaruhnya pada
pembuatan kebijakan begitu terbatas dan telah dikritik banyak pihak. Kritik
datang dari bukti-bukti empiris yang menentang klaim-klaim yang diberikan oleh
para teoritist dependensi. Konklusi bahwa pembangunan ala-kapitalis tidak
dimungkinkan untuk negara-negara pinggiran dikritik seiring dengan keberhasilan
ekonomi yang dialami oleh negara-negara industri baru di Asia sepanjang tahun
1970-an. Disamping itu, teori dependensi dikritik karena sepenuhnya berkenaan
dengan faktor ekonomi, tanpa mempertimbangkan konteks politik, sosial, dan
kultural dimana pembangunan mengambil tempatnya.
Meskipun para pendukung aliran dependensi memperhatikan konteks
sejarah, namun mereka tidak mempertimbangkan konteks yang lebih luas dimana
pembangunan terjadi. Booth (1985) juga mengkritik aliran dependensi – khususnya
Frank – mengeni definisi kapitalisme yang digunakan. Dalam pandangan Frank, pembangunan
kapitalis dimaknai sebagai “pertumbuhan industri yang alamiah (autonomous)”.
Jika definisi ini digunakan, menurut Booth, pembangunan kapitalis akan berhasil
apabila kedekatan sebuah negara dengan ekonomi global lebih lemah. Menurut
Booth, argumen ini justru mendiskreditkan pendekatan dependensi itu sendiri.
Teori Pasca-Ketergantungan
Immanuel Wallerstein: Teori Sistem Dunia (World-System Theory)
Pentingnya sistem ekonomi global dan hirarki yang ada di dalamnya
juga merupakan suatu faktor penentu dalam teori sistem dunia. Teori ini
dikembangkan oleh Immanuel Wallerstein (1974) dan memiliki karakteristik
seperti aliran dependensi. Misalnya, kedua pendekatan menekankan pentingnya
memperhitungkan pembangunan ekonomi nasional di dalam konteks global. Kekuatan
sebuah negara dalam sistem global akan mempengaruhi tingkat pembangunan suatu
negara.
Meski demikian, Wallerstein dengan jeli menganalisa di luar
dualisme statis dalam model dependensi. Kalau dalam model dependensi hanya ada
negara “core” dan “periphery”, bagi Wallerstein sendiri setidaknya ada 3
kelompok negara yakni: “core”, “semi-periphery” dan “periphery”. Pengelompokkan
negara ke dalam 3 kategori tersebut tidaklah tetap; kapanpun setiap negara bisa
keluar dari satu kategori ke kategori lain tergantung pada situasi ekonomi
negara tersebut. Kategori ‘semi-periphery’ merupakan suatu refleksi dari even
global yang ada di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pada saat itu,
beberapa negara sedang mengalami pembangunan ekonomi khususnya industrialisasi.
Negara-negara industri baru ini (newly-industrializing countries – NICs)
disebut juga sebagai Macan Asia (Asian Tigers) yang meliputi Korea Selatan,
Hongkong, Singapura dan Taiwan, serta beberapa negara Amerika Latin seperti
Brazil.
Seperti Frank, Wallerstein memandang sistem kapitalis dunia mulai
dari abad ke-15 dan 16, ketika pengaruh Eropa meluas hingga keluar Eropa.
Sebelum revolusi industri di abad ke-18, berbagai kekuatan Eropa saling
berusaha untuk mendominasi, dan negara-negara yang kalah bersaing kemudian
menjadi semi-periferi (misalnya Spanyol) sementara negara-negara di Eropa
Utarabarat (Northwest Europe) menjadi negara pusat. Termasuk wilayah periferi
pada waktu itu adalah Amerika Selatan dan Tengah. Dengan ekspansi di Eropa dan
kemudian di Amerika, negara pusat meluas, beberapa negara pinggiran menjadi
semi-pinggiran dan negara pinggiran (periferi) menjadi bagian dalam sistem
ekonomi global melalui proses kolonialisasi (Peet with Hartwick 1999).
Pada awal abad ke 20, negara-negara pusat terdiri dari Eropa Barat,
Amerika dan Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Negara-negara
semi-periferi adalah Amerika Latin, Eropa Timur, Rusia, China, India, dan
banyak negara di Asia Selatan. Di Afrika, hanya Afrika Selatan, Mesir, dan
Tunisia (Klak, 2002). Sisanya adalah negara-negara yang tergolong dalam
kategori negara pinggiran (periferi) dalam sistem ekonomi global.
TEORI PEMBANGUNAN NEO-KLASIK
Era 1980-an
Pada era 1980-an, Presiden Amerika Ronald Reagan, Perdana Menteri
Inggris Margaret Thatcher, Perdana Menteri Kanada Brian Mulroney, Kanselor
Jerman Helmut Kohl, dan Perdana Menteri Jepang dari Partai Demokratik Liberal
Jepang sejalan dengan revolusi neoklasik dalam analisis dan kebijakan ekonomi.
Kata “Liberal” di sini mengacu kepada liberalisme ekonomi (ideologi yang
dilontarkan oleh Adam Smith, Milton Friedman, dan Ludwig von Hayek), yang
menekankan kebebasan dari hambatan negara. Negara-negara seperti Amerika
Serikat, Kanada, Eropa Barat, Jepang, Australia, dan Selandia Baru, anggota OECD,
mendukung pasar dan privatisasi yang kemudian memengaruhi kebijakan-kebijakan
yang diambil oleh Bank Dunia dan IMF.
Para neoklasik berpendapat bahwa pertumbuhan yang lambat atau
negatif merupakan akibat dari lemahnya alokasi risorsis serta adanya intervensi
yang eksesif dari pemerintah LDCs. Mereka berpendapat bahwa adanya pasar bebas
yang kompetitif, privatisasi BUMN, dukungan ekspor dan perdagangan bebas,
liberalisasi perdagangan nilai tukar, penghilangan hambatan bagi perdagangan
luar negeri, pentingnya tabungan domestik, pengurangan pengeluaran pemerintah
dan ekspansi moneter, dan pembatasan regulasi dan distorsi harga dalam
finansial, risorsis, dan pasar komoditas akan mendorong peningkatan efisiensi
dan pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia dan IMF kemudian menunjukkan Korea Selatan,
Singapura, Hong Kong, Malaysia, Thailand, dan Indonesia sebagai contoh
pendekatan pasar bebas, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah
memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut.
Kebijakan Neoklasik terwujud dalam Washington Consensus, istilah
yang dibuat oleh ekonom John Williamson. Konsensus ini mencakup Bank Dunia,
IMF, dan pemerintah Amerika, dan anggota OECD. Beberapa komponen yang ada dalam
Washington Consensus:
Price decontrol. Neoclassicists mendukung kontrol akan komoditas,
faktor, dan harga mata uang.
Fiscal discipline. Defisit anggaran pemerintah atau bank sentral
harus cukup kecil untuk didanai.
Public expenditure priorities. Negara-negara terbelakang harus
mengurangi pengeluaran pemerintah, dan mengarahkan kembali pembiayaan dari
wilayah-wilayah yang sensitif politik (administrasi, pertahanan, dsb.) ke
infrastruktur, kesehatan utama, dan pendidikan.
Tax reform. Ini mencakup perluasan basis pajak, perbaikan
administrasi pajak, penguatan insentif pajak, pengurangan angka marginal pajak,
pengurangan penguapan pajak.
Financial liberalization. Sasarannya adalah adanya nilai uang yang
ditentukan oleh pasar (market-determined interest rates) untuk memperbaiki
efiensi alokasi modal.
Exchange rates. Negara memerlukan nilai (rate) yang seragam,
kompetitif untuk mendorong ekspansi ekspor.
Trade liberalization. LDCs harus menggantikan restriksi kuantitatif
dengan tarif, dan secara progresif mengurangi tarif hingga tercapainya angka
tarif rendah yang seragam (sekitar 10–20%).
Domestic savings. Disiplin fiskal, pemangkasan pengeluaran
pemerintah, reformasi pajak, dan liberalisasi finansial akan mengalihkan
risorsis dari negara kepada sektor privat, dimana angka tabungan menjadi lebih
tinggi. Model pertumbuhan neoklasik menekankan pentingnya tabungan dan formasi
kapital untuk pembangunan ekonomi yang pesat.
Foreign direct investment. Para penganjur neoklasik mendukung
dihapusnya hambatan bagi masuknya perusahaan asing.
10. Privatization. BUMN
harus diprivatisasikan.
Deregulation. Pemerintah harus menghilangkan berbagai regulasi yang
menghalangi masuknya perusahaan baru dan menghambat regulasi.
12. Property rights. Sistem
legal harus menyediakan jaminan hak cipta (property rights).
Meskipun beberapa ekonom sepakat dengan perlunya deregulasi yang
selektif, namun para penentang neoklasik merasa para neoklasik gagal menyadari
eksternalitas, barang publik, dan distribusi pendapatan membatasi ruang lingkup
deregulasi. Pemangkasan pengeluaran pemerintah mungkin saja membuat ekonomi
menjadi lesu, dan biasanya memerlukan pengurangan dalam pendidikan, nutrisi,
dan pelayanan sosial. Sekalipun privatisasi dimungkinkan, pemerintah harus
melakukannya secara perlahan-lahan untuk menghindari konsentrasi elit bisnis
secara luas akibat dari proses privatisasi perusahaan baru yang jatuh ke tangan
beberapa orang.
Keterbukaan kepada investasi luar negeri bisa jadi meningkatkan
kekuasaan monopolistik dalam ekonomi dan membatasi peluang bagi kapitalis
domestik untuk belajar dari pengalaman. Liberalisasi perdagangan cenderung
meningkatkan pengangguran, inflasi, dan capital flight. Suatu negara LDC
tertentu mungkin akan menghadapi jebakan ekspor (export trap), dimana terjadi
persaingan antar negara LDC untuk memperluas ekspor. Di sini, liberalisasi
cenderung melukai bagian populasi yang tidak diuntungkan tanpa menyediakan
jaring keamanan (safety nets) bagi kaum miskin.
Neoklasikal umumnya mendukung liberalisasi, suatu “big bang” yang
sifatnya segera atau “shock therapy” ketimbang suatu upaya penyesuaian yang
sifatnya gradual. Pengalaman sejarah di abad ke-19 dan 20, Barat dan Jepang
menunjukkan bahwa liberalisasi ekonomi memerlukan perubahan dalam institusi
ekonomi, yang hanya dapat terjadi melalui proses step by step.
Sumber Bacaan:
Budiman, Arif. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia. 2000
Nafziger, E. Wayne. Economic Development.
Fourth Edition. Cambridge University Press. 2006.
Willis, Katie. 2005. Theories and Practices of Development.
Routledge.
Sarana produksi (means of production) merupakan segala sesuatu yang
dibutuhkan oleh seseorang untuk menghasilkan barang. Hal ini mencakup alat dan
kelengkapan, demikian juga lahan, dan sebagainya.